Posted by: wastumconda | July 8, 2010

Military Training Area (MTA), Dimana ‘Kedaulatan’ Kita?

Semenjak tanggal 21 September 1995, dengan ditandatanganinya agreement antara pemerintah Idonesia yang diwakili oleh Menhankam RI kala itu yaitu Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat dan pemerintah Singapura yang diwakili oleh menteri pertahananya kala itu, Dr. Tony Tan, maka Indonesia telah dengan sah secara hukum menyerahkan sebagian dari wilayah kedaulatanya untuk digunakan sebagai daerah latihan militer oleh militer republic of Singapore.   Agreement itu kemudian diberikan payung hukum dalam domestic law di Indonesia yaitu dengan disahkannya Kepres No. 8/1996 yang mengatur Military Training Areas ini.  

Perjanjian ini merupakan wujud dari simbiosis mutualisma alias kerjasaa saling menguntungkan antara kedua Negara, dimana Indonesia yang memiliki wilayah yang luas memberikan kewenangan bagi pemerintah Singapura untuk digunakan sebagai wilayah latihan militer.   Sementara itu, Singapura sebagai Negara asia tenggara yang leading dalam ekonomi maupun persenjatan militer dengan segala kelengkapan tekhnologinya akan memberikan bantuan baik pelatihan personel militer maupun pembangunan sarana dan prasarana latihan militer.    

Dalam beberapa kesempatan perpanjangan perjanjian ini, TNI AU banyak disalahkan karena dilihat banyak memihak Singapur, sedangkan TNI AD dan AL yang notabene tidak banyak menikmati hasil dari kerjasama ini menjadi oposisi yang sangat menentang dilanjutkanya perjanjian ini.   Banyak hal yang membuat TNI AU sedikit lebih lunak dibandingkan dengan kedua saudara matranya.   Salah satu sebabnya adalah peran Singapura yang sangat fital dalam mendukung keberlangsungan suku cadang pesawat-pesawat tempur TNI AU yang dilanda krisis suku cadang akibat embargo yang dilancarkan Amerika.   Selain itu TNI AU juga sangat terbantu dengan pembangunan sarana dan prasarana yang telah dibangun oleh Singapura di Indonesia seperti fasilitas ACMR (Air Combat Maneuver Range) di Pangkalan Udara Pekanbaru.    Fasilitas ini sangat diperlukan bagi penerbang-penerbang tepur TNI AU dalam melaksanakan latihan pertempuran udara modern. 

Sesuai perjanjianya, MTA ini akan diperbaharui setelah 5 tahun atau berakhir pada tahun 2001 yang lalu namun masih diperpanjang hingga 2006.   Setelah itu upaya perpanjangan perjanjian tersebut terus diupayakan oleh Singapura namun mendapat banyak tantangan dari Indonesia yang menuntut memasukan masalah ekstradisi para koruptor yang melarikan uang Negara ke Singapura kedalam format DCA (Defence Cooperation Agreement) yang juga membahas masalah MTA ini.   Jelas, Singapura tidak bakalan mau mengekstradisi para pemasok keuangan negaranya itu ke Indonesia, lalu bagaimana nasib MTA ini?  Perjanjian ini beku dan yang tersisa adalah perjanjian pengontrolan sebagian wilayah udara Indonesia (area Bravo dan Alfa) oleh controller Singapura (Changi Airport) yang merupakan international hub.

Apakah kita tidak berupaya merebut kembali wilayah control udara di wilayah kedaulatan kita?  Jawabanya tidak se-simple dan dapat diselesaikan dengan meningkatkan pelayanan lalu lintas udara di batam atau Hang Nadim, Ranai seperti yang banyak diusulkan.  

Fasilitas ini dapat digunakan oleh kedua belah pihak baik militer Singapura maupun Indonesia.  Dengan penggunaan bersama ini maka training area di Lanud Pekanbaru dibagi menjadi dua area yaitu area East untuk militer Singapura dan area West untuk latihan pesawat-pesawat militer TNI AU.   Dalam perjanjian ini diatur bahwa setiap pesawat yang melintas diarea East harus mendapatkan persetujuan dari otoritas pengatur lalu lintas udara Singapura termasuk pesawat pesawat kecil baik pesawat pemerintah maupun sipil yang melaksanakan penerbangan rendah seperti pesawat polairud, bea cukai maupun pesawat-pesawat sipil lainya.   Lalu dimana arti kedaulatan yang dimiliki bangsa Indonesia di wilayahnya?


Leave a comment

Categories